Pamor Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api Pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang, diawali oleh kehendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan kesatuan.
Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation, exploitation de homme par l homme). Namun sayangnya kehendak luhur tersebut dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila.
Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila seakan akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri.
Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi. Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan.
Hal itu sesuai dengan ungkapan yang seringkali diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi bahwa pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri.
Dalam gegap gempitanya atmosfir revolusioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD 45 sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi. Konsekwensinya, mereka hanya dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika yang selalu dikumandangkan bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun, dilakukan secara pincang. Pada kenyataannya selama kurun waktu itu, kekuasaan yang sentralistik lebih banyak menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan.
Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi kata-kata bagus yang secara retorik digunakan oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan rakyat supaya lupa penderitaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan.
Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus dipersatukan, sehingga presiden mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menghancurkan apa yang disebut sebagai musuh-musuh revolusi?. Demi sebuah kekuasaan yang dahsyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik legislatif, yudikatif dan kekuatan masyarakat harus dihimpun dalam satu tangan.
Rakyat harus berada di belakang pemimpin tanpa reserve untuk menunggu komando yang diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan nasionalis, komunis serta agama yang pada tahap berikutnya ketiga sila itupun kemudian disimplifikasikan menjadi satu sila yang disebut Gotong Royong.
Hiruk pikuk revolusi akhirnya usai, karena ternyata kepemimpinan revolusioner telah mengakibatkan kejatuhan pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30 S/PKI. Kekuasaan yang hakekatnya cenderung korup, telah menyelewengkan nilai-nilai luhur Pancasila. Akibatnya, tragedi politik tahun 1965 yang pada dasarnya adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi telah menelan korban ratusan ribu jiwa, serta trauma dan stigma politik terhadap jutaan rakyat yang tidak tahu menahu mengenai apa yang disebut dengan memperjuangkan sebuah revolusi.
Catatan singkat di atas adalah fakta sejarah yang mudah-mudahan dapat menyegarkan ingatan kita semua, bahwa kesaktian serta kekeramatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa sangat rentan terhadap penyelewengan oleh aktor politik pemegang kekuasaan negara. Runtuhnya sistem kekuasaan pemerintahan Orde Lama adalah akibat dari perilaku para pemimpin politik yang menjungkir-balikkan nilai-nilai Pancasila demi ambisi politik yang mengatas namakan Pancasila.
0 komentar:
Posting Komentar