Insya Allah beritanya update

Kalau ada bahan postingan :)

Insya Allah beritanya update

Kalau ada bahan postingan :)

Insya Allah beritanya update

Kalau ada bahan postingan :)

Insya Allah beritanya update

Kalau ada bahan postingan :)

Insya Allah beritanya update

Kalau ada bahan postingan :)

Senin, 16 Mei 2011

PANCASILA DALAM ORDE LAMA

Pamor Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api Pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang,  diawali oleh kehendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan kesatuan.

Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk  membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas bangsa dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation, exploitation de homme par l homme). Namun sayangnya kehendak luhur tersebut dilakukan dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila.

Selama kurun waktu berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-nilai luhur Pancasila seakan akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat agresif tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun kekuasaan itu sendiri.

Retorika dan jargon politik yang bersumber dari gagasan bahwa revolusi belum selesai, termasuk cara cara revolusioner untuk membangun tatanan dunia baru, dijadikan legitimasi politik untuk membenarkan perlunya seorang pemimpin revolusi yang ditaati oleh seluruh rakyatnya. Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur, konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi. Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata revolusi memerlukan korban, apapun harus diberikan.

 Hal itu sesuai dengan ungkapan yang seringkali diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi bahwa pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang revolusioner kadang-kadang revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri.

Dalam gegap gempitanya atmosfir revolusioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD 45 sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi. Konsekwensinya, mereka hanya dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika yang selalu dikumandangkan bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun, dilakukan secara pincang. Pada kenyataannya selama kurun waktu itu, kekuasaan yang sentralistik lebih banyak menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan.

Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi kata-kata bagus yang secara retorik digunakan oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan rakyat supaya lupa penderitaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan.

Agar revolusi berhasil mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus dipersatukan, sehingga presiden mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menghancurkan apa yang disebut sebagai musuh-musuh revolusi?. Demi sebuah kekuasaan yang dahsyat pulalah, maka semua cabang kekuasaan, baik  legislatif, yudikatif dan kekuatan masyarakat harus dihimpun dalam satu tangan.

Rakyat harus berada di belakang pemimpin tanpa reserve untuk menunggu komando yang  diberikan kepadanya. Manifestasi kegandrungan mempersatukan kekuatan dan mengakumulasikan kekuasaan diwujudkan pula dalam tataran ideologis dengan memeras Pancasila menjadi Trisila yang unsur-unsurnya adalah kekuatan golongan nasionalis, komunis serta agama yang pada tahap berikutnya ketiga sila itupun kemudian disimplifikasikan menjadi satu sila yang disebut Gotong Royong.

Hiruk pikuk revolusi akhirnya usai, karena ternyata kepemimpinan revolusioner  telah mengakibatkan kejatuhan pemimpin itu sendiri melalui tragedi yang dikenal dengan nama G 30 S/PKI. Kekuasaan yang hakekatnya cenderung korup, telah menyelewengkan nilai-nilai luhur Pancasila. Akibatnya, tragedi politik tahun 1965 yang pada dasarnya adalah perang saudara yang disebabkan oleh konflik ideologi telah  menelan korban ratusan ribu jiwa, serta trauma dan stigma politik terhadap jutaan rakyat yang tidak tahu menahu mengenai apa yang disebut dengan memperjuangkan sebuah revolusi.

Catatan singkat di atas adalah fakta sejarah yang mudah-mudahan dapat menyegarkan ingatan kita semua, bahwa kesaktian serta kekeramatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa sangat rentan terhadap penyelewengan oleh aktor politik pemegang kekuasaan negara. Runtuhnya sistem kekuasaan  pemerintahan Orde Lama adalah akibat dari perilaku para pemimpin politik yang  menjungkir-balikkan nilai-nilai Pancasila demi ambisi politik yang mengatas namakan Pancasila.

PANCASILA DAN ISLAM

Tujuan Hidup. Tujuan hidup dan kehidupan manusia,tujuan akhir manusia (ultimate goal) menurut Islam adalah mendambakan ridha Allah swt,sehingga hanya kepadaNya lah menghambakan diri (simak antara lain QS 6:162).Sedangkan tujuan akhir antara (intermediate goal) adalah terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt, yaitu baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur. [Pedoman/pamdangan hidup : Qur:aan dan Sunnah. Tujuan hidup : Ridha Allah. Tugas hidup :Ibadah. Peran/fungsi hidup : Khilafah. Bekal hidup : Amal dan Anfus. Teladan hidup : Rasulullah. Kawan hidup : Mukminin. Lawan hidup : Setan, iblis, thagut dan khannas serta pengkuttnya : nafsu, khannas, kafir, munafiq].

Totalitas Islam : Totalitas Islam mencakup seluruh bidang kehidupan : negara dan tanah air, pemerintahan dan ummat, akhlak dan kekuatan (rahmat dan keadilan), ilmu dan uandang-undang (pengetahuan dan pengadilan), kebendaan dan harta kekayaan (usaha dan kejayaan), jihad dan da’wah, militer dan fikrah, aqidah dan ibadah (Hasan alBanna : “Majmu’al Rasail” dalam Musthafa Muhammad Thahhan : ‘Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Modern”, 2000:36).

Masyarakat Islam. Masyarakat Islam adalah masyarakat adil makmur yang diridhai Allah swt. Dalam masyarakat Islam itu yang berlaku adalah hukum-hukum Allah terhadap seluruh perlaku kehidupan manusia, seluruh aktivitas kegiatan manusia, sehingga setiap warga memperoleh jaminan kedamaian, keamanan, kesejahteraan. [Masyarakat Islam adalah masyarakat yang mau diatur oleh hukum Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat islam adalah masyarakat yang intinya (kernnya) terdiri dari orang-orang Islam yang tangguh, yang hidup matinya lillahi rabbibl’alamin, dan plasmanya segenap orang tanpa membdakan asal, suku, agamanaya yang bersedia melakukan yang baik dan tidak melakukan yang jelek serta siap sedia secara bersama-sama menindak yang melakukan tindak kejahatan dan menyelesaikan sengketa menurut hkum Allah].

Ciri-ciri masyarakat Islam.
Sistem IPOLEKSOSBUDHANKAM yang diterapkan :
- terpadu, saling terintegrasi, saling kait-mengait. Sistem ekonominya bebas dari lembaga riba, bebas dari system ekonomi Yahudi.
- berupaya terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani, material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi, iman dan ilmu, akal dan kalbu secara proporsional.
- berupaya membangkitkan motivasi dan inovasi terciptanya suasana dialogis, ukhuwah dan musyawarah. [Negara dan masyarakat Islam ditegakkan atas dasar ‘adalah, musyawarah, ukhuwah].
Setiap warganegara :
- berupaya menggunakan, memanfaatkan yang dimilikinya (kecendekiannya, kepemimpinannya, keikhlasannya, kejujurannya, kedisiplinannya) untuk kemashlahatan, kepentingan sesama dan agama. (simak antara lain QS 28:76-77). [Pilar Utama Negara dalam Islam terdiri dari : kepakaran teknokrat, ketulusan birokrat, kepedulian konglomerat, kesetiaan yang melarat].
- terpenuhi kebutuhan primernya (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja).
- Bebas secara layak menggunakan hak-hak sipilnya, hak-hak asasinya.(simak : “Pidato & Surat-surat Hasal AlBanna”, 1984:263-270, “Laangkah-langkah Menuju Perbaikan”).

Sumber Hukum Islam. Sumber dari segala sumber hukum dalam Islam aalah Qu:r:an dan Suunah Rasul yang mampu membimbing akhlak seseorang, sehingga bisa membedakan mana yang hak (yang benar) dan mana yang bathil (ysng salah).

Komponen pokok ajaran Islam. Komponen pokok ajaran Islam terdiri dari : akidah, syari’ah (ubudiyah, mu’amalah : politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, keamanan, pertahanan, dll) dan akhlak (etika, moral, mental attitude). Dalam Qur:an terdapat prinsip-prinsip umum (general principle) tentang politik (seperti muaysawarah, pelaksanaan amanat), ekonomi dan perdagangan, sosial, pendidikan, hukum dan HAM (simak rinciannya antara lain dalam Fathi Yakan : “Bagaimana Kita Memanggil Kepada Islam, 1978; 99-159, “Garis Besar Ajaran Islam : Di bidang ‘Aqidah dan Dibidang Syar’iyah”0.

Tahapan langkah. Tahapan langkah menuju terwujudnya masyarakat adil makmur dengan mengkonsolidasi seluruh potensi SDM umat (di bidang akidah, ubudiyah, akhlak, pendidikan, IPOLEKSOSBUDHANKAM) (simak antara lain “Langkah Perjuangan Menegakkan Kalimatullah” yang disepakati para ulama dalam Majlis Islam pada konferensi di Cisayong Jawa Barat; “Marahil amal (tahapan kerja)” menurut Hasan alBanna dalam “Risalah Ta’lim”nya). [Syaksyiyah, Usrah, Ijtima’iyah, Daulah, Khilafah].

Pancasila. Pada awalnya, pada mulanya Pancasila itu adalah formulasi, hasil rekayasa sinkretisme pemikiran filsafat Barat yang diperkenalkan Sukarno pada kali keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai) tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Me4rdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45 dengan membuang anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Pda bagian akhir pidatonya atas petunjuk seorang ahli bahasa – demikian menurutnya – Sukarno mengusulkan Pancasila sebagai nama bagi rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka yang dikemukakannya. Tapi para pendiri Negara Republik Indonesia tak pernah memutuskan memberi nama Pancasila bagi Dasar Negara Repeublik Indonesia.

Sukarno adalah seorang insinyur, sarjana teknik, ahli rekayasa, juga ahli retorika. Ia berupaya merekayasa suatu mosaik falsafah, pandangan hidup (weltanschawung) bangsa Indonesia sebagai sinkretis dari pernik pemikiran filsafat Barat : Monotheisme, Nasionalisme, Humanisme, Demokratisme, Sosialisme. Hasil rekayasanya inilah yang disampaikan Sukarno (dalam pidatonya pada tanggal 1 uni 1945) di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Syunbi Tyoosakai), yang – atas petunjuk seorang ahli bahasa – dinamakannya Pancasila, yang bisa diper5as menjadi Trisila (socio-nationalisme, socio-democratisme, ketuhanan) atau Ekasila (gotong-royong).

Pemuka-pemuka Islam dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) menerima gagasan Pancasila Soekarno sebagai dasar negara Indonesia Merdewka karena adanya jaminan “pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Ketika mengemukakan dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan, Soekarno menyatakan bahwa inilah (dasar musyawarah mufakat) tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Ia mengajak pemuka-pemuka Islam agar pro aktif bekerja keras supaya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu hukum Islam.

NILAI PANCASILA DAN UUD 1945

NILAI-NILAI PANCASILA DAN UUD 1945
I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
* Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
* Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
* Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
* Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Makna sila ini adalah:
* Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
* Saling mencintai sesama manusia.
*Mengembangkan sikap tenggang rasa.
* idak semena-mena terhadap orang lain.
* Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
* Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
* Berani membela kebenaran dan keadilan.
* Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Menjaga Persatuan dan Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* Rela berkorban demi bangsa dan negara.
* Cinta akan Tanah Air.
* Berbangga sebagai bagian dari Indonesia.
* Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
* Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
* Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
* Mengutamakan budaya rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
* Berrembug atau bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
* Bersikap adil terhadap sesama.
* Menghormati hak-hak orang lain.
* Menolong sesama.
* Menghargai orang lain.
* Melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
* Perisai di tengah melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
* Simbol-simbol di dalam perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
* Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Rantai melambangkan sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
* Pohon beringin melambangkan sila Persatuan Indonesia
* Kepala banteng melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
* Padi dan Kapas melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
* Warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah berarti berani dan putih berarti suci
* Garis hitam tebal yang melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia yang dilintasi Garis Khatulistiwa
* Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
* Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
* Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
* Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
* Jumlah bulu di leher berjumlah 45
* Pita yg dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan
Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.
Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
* Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
* MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
* Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
* Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
* Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
* Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
* Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
* Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
* Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
* Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

PANCASILA DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Nilai –nilai pancasila telah ada pada bangsa indonesia sejak zaman dulu kalasebelum bangsa indonesia mendirikan negara. Proses terbentuknya negara indonesia melalui proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu hingga munculnya karajaan-kerajaan pada abad ke-IV.

A.      Zaman Kutai
Pada zaman ini masyarakat kutai yang membukai zaman sejarah indonesia pertama kalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan.

B.      Zaman Sriwijaya
Cita-cita tentang kesejahteraan bersama dalam sesuetu negara tlah tercemin pada kerjaan sriwijaya yang berbunyi yaitu ”marvuat vanua criwijaya siddhayara subhika”{suatu cita-cita negara yang adil&makmur}

C.      Zaman Kerajaan-Kerajaan Sebelum Kerajaan Majapahit
Pada zaman ini diterapkan antara lain/ raja aiar langgi sikap tolerensi dalam beragama nilai-nilai kemanusiaan (hubungan dagang&kerjasama dengan benggala, chola, dan chompa) serta perhatian kerjahteraan pertanian bagi rakyat dengan dengan membangun tanggul&waduk.

D.      Zaman Kerajaajn Majapahit
Sumpah palapa / gajmada berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara.

E.       Zaman Penjajahan
Setelah majapahit runtuhan maka berkambanglah agama islam dengan pesatnya di idonesia. Bersama dengan itu maka berkambang pula kerajaan-karajaan islam seperti kerajaan denak, disebut. Selain itu, berdatangan juga bangsa-bangsa eropa di nusantara.
Bangsa asing yang masuk ke indonesia pada awalnya berdangan, namun kamudian berubah menjadi praktek penjajahan. Adanya penjajahan membuat perlawanan dari rakyat indonesia di berbagai wilayah nusantar, namun karena tidak adanya kesatuan& persatuan di antara mereka maka perlawanan tersebut senantiasa sia-sia.

F.       Kebangkitan Nasional
Pada masa ini banyak berdiri gerakan-gerakan nasional / mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuataannya sendiri.

G.     Zaman Penjajahan Jepang
Jepang menjanjikan kamardekaan tanpa syarat kapada bangsa indonesia. Bahkan / mendapatkan simpati & dukungan dari bangsa indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka di bentuklah suatu badan yang bertugas / menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan indonesia yaitu badan penyelidik usaha-usaha kemerdekaan indonesia {BPUPKI}

KESIMPULAN
Nilai-nilai pancasila diangkat dan di rumuskan secara formal/para pendiri negara/di jadikan sebagai dasar negara RI. Proses cara formal tersebut di lakukan dalam sidang-sidang bpupki pertama, bidang panitia 9, sidang BPUPKI kadua, serta akhirnya di sah kan secara yuridis sebagai dasar negara RI.
Sejarah perjuangan bangsa indonesia/membentuk negara sangat erat kaitannya dengan jati diri bangsa indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan, persatua,kerakyatan serta keadilan. Dalam kenyataannya secara objektif tlah di miliki/bangsa indonesia sejak dahulu kala.

PANCASILA DALAM MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI

Kelahiran Pancasila sebagai ideologi bangsa, meskipun berjalan alot tetapi dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan berlangsung relatif mulus. Berbeda dengan proses kelahirannya, upaya untuk “membumikan” Pancasila di tengah bangsa Indonesia ternyata banyak menghadapi tantangan dan cobaan. Tantangan terhadap Pancasila sudah mulai tampak sejak masa-masa awal bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Tantangan terhadap eksistensi Pancasila tidak hanya bersifat internal tetapi juga bersifat eksternal. Berpijak pada realitas adanya berbagai tantangan dan ancaman terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa sejak masa-masa awal kelahirannya, bisa dipastikan bahwa tantangan dan ancaman terhadap Pancasila akan terus berlangsung. Untuk itu, mau tidak mau, apabila Pancasila ingin tetap eksis di bumi Nusantara ini perlu selalu dipersiapkan jawaban (respon) yang tepat atas berbagai tantangan (challenge) yang tengah dan akan terjadi.

Realitas kontempore memperlihatkan bahwa tantangan terhadap ideologi Pancasila, baik kini maupun nanti, beberapa di antaranya telah tampak di permukaan. Tantangan dari dalam di antaranya berupa berbagai gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa yang terjadi di Aceh, Maluku, dan Papua merupakan sebagian contoh di dalamnya. Penanganan yang tidak tepat dan tegas dalam menghadapi gerakan-gerakan tersebut akan menjadi ancaman serius bagi tetap eksisnya Pancasila di bumi Indonesia. Bahkan, bisa jadi akan mengakibatkan Indonesia tinggal sebuah nama sebagaimana halnya Yugoslavia dan Uni Soviet.

Tidak kalah seriusnya dengan tantangan dari dalam. Pancasila juga kini tengah dihadapkan dengan tantangan eksternal berskala besar berupa mondialisasi atau globalisasi. Globalisasi yang berbasiskan pada perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, secara drastis mentransendensi batas-batas etnis bahkan bangsa.

Jadilah Indonesia kini, tanpa bisa dihindari dan menghindari, menjadi bagian dari arus besar berbagai perubahan yang terjadi di dunia. Sekecil apapun perubahan yang terjadi di belahan dunia lain akan langsung diketahui atau bahkan dirasakan akibatnya oleh Indonesia. Sebaliknya, sekecil apaun peristiwa yang terjadi di Indonesia secara cepat akan menjadi bagian dari konsumsi informasi masyarakat dunia. Pengaruh dari globalisasi ini dengan demikian begitu cepat dan mendalam.

Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi bangsa Indonesia, sanggupkah Pancasila menjawab berbagai tantangan tersebut? Akankah Pancasila tetap eksis sebagai ideologi bangsa? Jawabannya tentu akan terpulang kepada bangsa Indonesia sendiri sebagai pemilik Pancasila. Namun demikian, kalaulah kemudian mencoba untuk mencari jawabnya adalah bahwa Pancasila akan sanggup menghadapi berbagai tantangan tersebut asalkan Pancasila benar-benar mampu diaplikasikan sebagai weltanschauung bangsa Indonesia.

Implikasi dari dijadikannya Pancasila sebagai pandangan hidup maka bangsa yang besar ini haruslah mempunyai sense of belonging dan sense of pride atas Pancasila. Untuk menumbuhkembangkan kedua rasa tersebut maka melihat realitas yang tengah berkembang saat ini setidaknya dua hal mendasar perlu dilakukan. Pertama, penanaman kembali kesadaran bangsa tentang eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Penanaman kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa mengandung pemahaman tentang adanya suatu proses pembangunan kembali kesadaran akan Pancasila sebagai identitas nasional. Upaya itu memiliki makna strategis manakala realitas menunjukkan bahwa dalam batas-batas tertentu telah terjadi proses pemudaran kesadaran tentang keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Salah satu langkah terbaik untuk mendekatkan kembali atau membumikan Pancasila ke tengah rakyat Indonsia tidak lain melalui pembangunan kesadaran sejarah.

Tegasnya Pancasila didekatkan kembali dengan cara menguraikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia, termasuk menjelaskannya bahwa secara subtansial Pancasila adalah merupakan jawaban yang tepat dan strategis atas keberagaman Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang.

Kedua, perlu adanya kekonsistenan dari seluruh elemen bangsa, khususnya para pemimpin negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak. Janganlah sampai Pancasila ini sekadar wacana di atas mulut yang disampaikan secara berbusa-busa hingga menjadi basi sementara di lapangan penuh dengan perilaku hipokrit. Dengan demikian, penghayatan dan pengamalan sila-sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sudah merupakan suatu conditio sine qua non bagi tetap tegaknyaa Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Salah satu tantangan terbesar yang perlu segera dijawab bangsa yang besar ini, khususnya oleh para pemegang kekuasaan, adalah menjawab tantangan atas lemahnya kesejahteraan rakyat dan penegakkan keadilan. Ketimpangan kesejahteraan antara kota dan desa, terlebih Jawa dan luar Jawa merupakan salah satu permasalahan besar yang harus segera dijawab oleh bangsa ini. Terasa sesak bagi kita semua bila mengingat bahwa dialam sejarah dewasa ini masih ada bagian dari bangsa ini yang secara mengenaskan masih hidup di alam prasejarah! Masalah penegakkan keadilan juga menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian  serius para pengambil kebijakan.

Keadilan sosial yang telah lama digariskan para pendiri negeri ini sering menjadi kontraproduktif manakala hendak ditegakkan di kalangan para penguasa dan pemilik uang. Jadilah hingga sekarang ini pisau keadilan yang dimiliki bangsa ini masih merupakan pisau keadilan bermata ganda, tajam manakala diarahkan kepada rakyat kebanyakan, dan tumpul atau bahkan kehilangan ketajamannya sama sekali manakala dihadapkan dengan para pemegang kekuasaan atau pemilik sumber-sumber ekonomi.

Bila dua hal itu saja mampu dikedepankan bisa jadi bangsa yang besar ini tidak akan mudah tergoyahkan oleh berbagai tantangan dan ancaman yang ada, baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari dalam bisa jadi akan pupus dengan sendirinya manakala kesejahteraan rakyat terkondisikan pada keadaan yang baik dan keadilan dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya.

Ancaman dari luar, termasuk arus besar globalisasi sekalipun tidak akan menggeruskan Pancasila sebagai sebuah ideologi tetapi justru akan menjadikan Pancasila sebagai kekuatan yang mapu mewarnai arus besar globalisai. Terlebih karena globalisasi bagi bangsa ini bukanlah merupakan barang baru.

Pada akhirnya, menjadi baik kiranya bila menyimak kembali apa yang pernah dikatakan oleh Roeslan Abdulgani (1986), “Pancasila kita bukan sekedar berintikan nilai-nilai statis, teapi juga jiwa dinamis. Kurang gunanya bagi kita, hanya secara verbal mencintai kemerdekaan, kalau kita tidak berani melawan penjajahan, baik yang tradisional-kuno maupun yang neokolonial. 

Kurang gunanya kita, secara verbal saja menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Maha Esa kalau kita takut melawan kemusyrikan. Kurang gunanya kita, secara verbal saja mengagungkan sila Perikemanusiaan, kalau kita membiarkan merajalela situasi yang tidak manusiawi. Kurang faedahnya kita, secar verbal saja cinta Persatuan Indonesia, kalau kita membiarkan merajalelanya rasa nasionalisme dan patriotisme merosot dan membiarkan bangsa lain mengeksploitasi kebodohan dan kelemahan rakyat kita. Kurang manfaatnya kita cinta Sila Kerakyatan kalau kita membiarkan keluhan rakyat tersumbat. Kurang artinya kita ngobrol saja tentang sila Keadilan Sosial, kalau kitamembiarkan kepincangan sosial ekonomis merajalela

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Dikaitkan dengan Nilai-nilai Pancasila
Dalam pembangunan nasional pasti dibutuhkan suatu kerangka pemikiran yang melandasi pembangunan nasional itu sendiri. Oleh karena itu, pancasila dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional. Namun demikian, dari kata-kata Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan akan tercipta beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
- Apa itu Paradigma?
- Apa saja Nilai-nilai Pancasila yang dapat diterapkan sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan?
- Mengapa Pancasila dapat dijadikan Paradigma Pembangunan Nasional?
Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya. Nilai-nilai pancasila dalam penerapan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan adalah :
a. Sila pertama dan kedua: pertahanan dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Sila Ketiga: pertahanan dan keamanan Negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga Negara.
c. Sila keempat: pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan.
d. Sila kelima: pertahanan dan keamanan harus diperuntukan demi terwujudnya keadilan hidup masyarakat.
Membaca buku acuan dan referensi lain, dapat dimengerti tentang Pancasila sebagai Pardigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai dari pancasila dapat dijadikan suatu paradigma atau kerangka pemikiran dalam pembangunan nasional.

ETIKA POLITIK VERSI PANCASILA

Cabang filsafat yang membicarakan nilai disebut dengan aksiologi (filsafat nilai). Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau kebaikan (goodness), juga menunjuk kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Nilai merupakan sesuatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan yang lainnya.
Menilai berarti menimbang, artinya suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Nilai bagi manusia dipakai dan diperlukan untuk menjadi landasan alasan, motivasi dalam segala sikap, tingkah laku dan perbuatannya.
Macam-macam nilai :
Walter G.Everest menggolongkan nilai-nilai manusiawi menjadi delapan kelompok, yaitu: nilai-nilai ekonomis, kejasmanian, hiburan, sosial, watak, estetis, intelektual dan keagamaan.
Sedangkan Notonagoro membagi nilai menjadi 3, yaitu:
-Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia, contohnya makan, sandang, papan.
-Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas, contoh: semangat dan kerja keras.
-Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia, contoh: nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai religius.
Nilai di atas masih bersifat abstrak, atau disebut nilai dasar, karena nilai ini masih berada dalam pemikiran manusia. Nilai dasar kemudian dijabarkan secara interpretasi menjadi nilai instrumental yang berupa parameter yang lebih konkrit, yang masih berupa rumusan umum berwujud norma-norma. Nilai instrumental dijabarkan ke dalam nilai praksis, berwujud indikator yang sifatnya sangat konkrit berkaitan suatu bidang dalam kehidupan.
Dalam konteks kehidupan bernegara, Pancasila sebagai dasar negara dan asas kerohanian negara merupakan nilai dasar, dijabarkan ke dalam nilai instrumental berupa UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis, yang kemudian dijabarkan lagi dalam nilai praksis berwujud Undang-Undang yang menyangkut bidang kehidupan bernegara.

Sistem Nilai dalam Pancasila
Sistem diartikan sebagai suatu rangkaian yang saling berkaitan antara nilai yang satu dengan nilai yang lain. Sistem nilai adalah konsep/gagasan yang menyeluruh mengenai apa yang hidup dalam pikiran seseorang atau sebagian besar anggota masyarakat tentang apa yang dipandang baik, berharga, penting dalam hidup. Fungsinya yaitu sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat tersebut.

Pancasila sebagai nilai mengandung serangkaian nilai yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang merupakan satu kesatuan yang utuh, tak terpisahkan mengacu pada tujuan yang satu. Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut bersifat universal, objektif, artinya bahwa nilai-nilai tersebut dapat dipakai dan diakui oleh negara lain.

Pancasila bersifat subjektif, artinya bahwa nilai-nilai Pancasila itu terletak pada pembawa dan pendukung nilai Pancasila itu sendiri, yaitu masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Nilai-nilai Pancasila merupakan das ‘Sollen’ atau cita-cita tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan/das ‘Sein’. Walaupun Pancasila merupakan falsafah hidup, tetapi negara sebagai institusi yang mempunyai dua tugas utama yaitu melindungi segenap dan seluruh warga negara serta membuat atau menciptakan kesejahteraan sosial, sehingga tidak berhak memuat standar moral. Standar moral yang menentukan bukan negara, tetapi institusi agama, keluarga, masyarakat atau diri pribadi manusia.

Makna Sila-sila Pancasila
Metode yang dipergunakan untuk menganalisis adalah metode interpretasi (hermeneutika) terhadap masing-masing sila Pancasila.

1.Arti dan Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
-Pengakuan adanya kausa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha Esa
-Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
-Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan memeluk agama sesuai dengan hukum yang berlaku.
-Atheisme dilarang hidup dan berkembang di Indonesia.
-Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama, toleransi antar umat dan dalam beragama.
-Negara memberi fasilitas bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik antar umat agama.

2.Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
-Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan.
-Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa
-Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah

3.Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia
-Nasionalisme; cinta bangsa dan tanah air; menggalang persatuan dan kesatuan bangsa; menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit; serta menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan.
Nasionalisme adalah perasaan satu sebagai suatu bangsa, satu dengan seluruh warga yang ada dalam masyarakat.

4.Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
-Hakikat sila ini adalah Demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
-Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.
-Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.
-Perbedaan secara umum demokrasi di barat dan di Indonesia yaitu terletak pada permusyawaratan. Di dunia barat yang berlangsung yaitu keputusan berdasar pemungutan suara, sedangkan di Indonesia pemungutan suara baru dilaksanakan jika keputusan secara bulat benar-benar tidak bisa tercapai.

5.Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
-Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat.
-Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing.
-Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.

Keadilan berarti adanya persamaan dan saling menghargai karya orang lain. Dinamis dalam arti diupayakan lebih tinggi dan lebih baik. Sesuatu yang diberikan kepada orang-orang yang sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan potensinya disebut ‘adil’.
Setidaknya ada tiga macam keadilan, yaitu:
-Keadilan legalis artinya keadilan yang arahnya dari pribadi ke seluruh masyarakat.
-Keadilan distributif yaitu keseluruhan masyarakat wajib memperlakukan manusia pribadi sebagai manusia yang sama martabatnya.
-Keadilan komutatif yaitu warga masyarakat wajib memperlakukan warga lain sebagai pribadi yang sama martabatnya. Ukuran pemberian haknya berdasar prestasi.

PANCASILA ADALAH IDENTITAS DAN JIWA BANGSA DAN NEGARA

Menjelang hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, kiranya adalah pada tempatnya mengenangkan kembali, memikirkan kembali, mengadakan penelitian kembali sekitar Republik Indonesia : lahir, tumbuh dan perkembangan serta pengkonsolidasiannya. Tidaklah terlalu pagi memulai penulisan seperti itu. Maksudnya tidak lain untuk menarik pelajaran dari pengalaman sendiri dan menatap ke depan dengan sikap dan semangat “berfikir positif” dan dengan pandangan optimisme.
Sesuai pemikiran tsb diatas, punya arti penting pernyataan baru-baru ini oleh salah seorang tokoh nasional, juga dianggap “sesepuh”, mantan Sekjen Konferensi Asia-Arika di Bandung (1955): Roeslan Abdoelgani. Berkenaan dengan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni yang lalu, beliau menyatakan, bahwa, Pancasila (adalah) sebagai ruh dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini masih sangat relevan dan dibutuhkan untuk membangun bangsa yang bermartabat dan punya harga diri di mata dunia. Sehubungan dengan ini Cak Rus (panggilan akrab Roeslan Abgdoelgani) mengutip kata-kata Bung Karno penggali Pancasila, sbb: “Bangsa ini akan mengalami kesulitan besar kalau ideologi Pancasila ditinggalkan”.
Pancasila (Alhamdulillah) sudah dipakukan di dalam UUD Negara, sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia. Syukur sampai sekarang bangsa ini masih berdiri tegak sebagai nasion, — tanpa sedikitpun menutup mata, tanpa meremehkan berbagai tantangan dan kesulitan maupun rintangan yang dihadapinya dari luar maupun dari dalam. Yang merupakan masalah serius ialah bagaimana Pancasila diinterpretasi, bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya bangsa.
ORBA, para sejarawan dan pakar yang mendukung ORBA, tidak tanggung-tanggung berusaha untuk mensalahtafsirkan, memutarbalikkan makna sesungguhnya Pancasila. Untuk itu mereka merekayasa dan memulas fakta-fakta sejarah sekitar lahirnya Pancasila. Mereka bahkan menyalahgunakan Pancasila untuk memberangus hak-hak demokrasi dan menginjak-injak HAM. Pancasila mereka gunakan untuk membenarkan penyerobotan kekuasaan negara dari tangan penggali Pancasila itu sendiri.
Jalan terbaik dalam memahami makna dan tujuan Pancasila, adalah memulainya dengan membaca dan mengkaji sendiri tulisan penggalinya, karya politik klasik: LAHIRNYA PANCASILA, pidato Bung Karno di muka Panitia Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945.
Yang tidak kurang serius, bahkan yang teramat serius, ialah bahwa Orba dengan sewenang-wenang menyalahgunakan Pancasila untuk memaksa bangsa ini BERFIKIR SERAGAM. Manusia Indonesia hanya dibolehkan berfikir menurut pola berfikir penguasa. Menjadikan bangsa ini bangsa yang paling dungu. Yang beranggapan kebenaran itu hanya ada pada penguasa, pada pemerintah, pada para elite, para “bapak-bapak” pemimpin.
Suatu hal yang tidak mungkin tercapai. Kalaupun berhasil itu hanya bisa berlaku untuk waktu tertentu saja. Dalam hal ini 32 tahun periode ORBA. Tidak mungkin berhasil dalam waktu panjang, karena fikiran tsb berasal dari ideologi fasisme. Gerakan Reformasi dan Demokratisasi telah berhasil mendobrak pola berfikir seperti itu, tetapi belum tuntas. Terutama kalangan generasi muda dalam jumlah besar telah meninggalkan pola berfikir seperti itu. Namun, disebabkan belum konsisten dan belum mendalamnya gerakan Reformasi dan Demokratisasi, sampai dewasa ini pola baerfikir semacam itu masih besarang pada para elite; pada kebanyakan pemimpin, baik dalam badan-badan eksekutif, legeslatif ataupun judikatif; baik dalam birokrasi maupun aparat kekuasaan negara.
Salah satu masalah yang masih terus didiskusikan dan diseminarkan, dipelajari kembali dan dianalisis atas dasar fakta-fakta, adalah masalah PELURUSAN SEJARAH. Membicarakan kembali dengan maksud memperdalam dan akhirnya mentuntaskan masalah PULURUSAN SEJARAH bangsa kita terutama selama periode kemerdekaan, adalah sesuai dengan maksud memperingati HARI KEMERDEKAAN. Maka, adalah menarik apa yang ditulis oleh sejarawan, Peneliti Utama LIPI, Dr. Asvi Warman Adam pada tanggal 2 Juni y.l. (Jawa Pos), dalam artikel berjudul SUKARNO MENGGUGAT SEJARAH.
Tulisan itu semacam resensi tentang buku “REVOLSUI BELUM SELESAI”, suatu ‘Kumpulan pidato Bung Karno’ sebanyak 61 buah sejak 1965 s/d 1967, yang berasal dari Arsip Nasional RI. Buku itu diterbitkan oleh Mesiass, Semarang. Jumlah keseluruhan pidato Bung Karno pada periode tsb adalah 103 buah. Oleh penerbit tidak diterbitkan semua, karena keterbatasan dana dan ruangan.
Aswi Adam menilai bahwa pidato-pidato Bung Karno itu memberi sumbangan signifikan untuk pelurusan sejarah awal Orde Baru. Sebagian terbesar rakyat Indonesia selama lebih 32 tahun Orba, tidak pernah mengetahui adanya pidato-pidato Presiden Sukarno yang begitu krusial dan teramat penting dalam sejarah Indonesia.
Pada saat-saat situasi politik Indonesia bergejolak sedemikian rupa drastis, dramatis dan tragisnya, bangsa dan negeri ini tidak mengetahui apa petunjuk, wejangan dan arah yang diberikan oleh kepala negara dan kepala pemerintahan Presiden RI Sukarno. Betapa tidak tragis dan dramatis misalnya nasib “Surat Perintah Sebelas Maret” (SUPERSEMAR) yang ditandatangani Presiden Sukarno, suatu surat perintah yang disampaikan oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintah dan Panglima Tertinggi ABRI, untuk mendukung dan membela instruksi, kewibawaan dan ajaran-ajaran Bung Karno.
Nyatanya dokumen penting ini telah disulap-salahgunakan oleh Jendral Suharto menjadi surat pengesahan perebutan kekuasaan negara. “Supersmar”, yang hitam diatas putih menyatakan bahwa ia dimaksudkan untuk membela kewibawaan Presiden Sukarno, demi ketertiban dan keamanan, justru digunakan untuk mensahkan dan melegitimasi pembunuhan lebih sejuta rakyat tidak bersalah, sebagai awal pelikwidasian dukungan dan pengaruh Bung Karno di kalangan rakyat.
Tidak berkelebihan untuk mengatakan, — kalau ada pengkhianatan dalam sejarah Republik Indonesia, maka, tindakan perebutan kekuasaan negara oleh Jendral Suharto dengan menyalahgunakan SUPERSEMAR adalah pengkhiantan yang paling besar dan paling keji, tiada ada taranya.
Membicarakan perjalanan hidup Republik Indonesia, lahir dan perjuangannya, tidak mungkin terlepas dari pembicaraan mengenai Bung Karno, salah seorang tokoh utama dari para “founding fathers of our nation”.
Perjuangan panjang bangsa ini untuk mencapai kemerdekaan dan menegakkan negara sendiri yang setara sejajar dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia ini, bertalian erat sekali dengan perjuangan untuk membangun nasion, membangun puluhan sukubangsa kita menjadi satu bangsa, satu nasion yang punya kesadaran identitas sebagai bangsa Indonesia, sebagai suatu nasion yang bukan saja punya identitas nasional, tetapi juga punya hargadiri sebagai nasion.
Disinilah sumbangan tak terhingga yang telah diberikan oleh Bung Karno terhadap usaha besar ini. Membangun nasion Indonesia adalah dasar yang paling kokoh, adalah persiapan yang paling fundamental menuju Indonesia Merdeka. Tidak sekali dua Bung Karno menekankan betapa pentingnya membangun kesadaran berbangsa, dan semangat bangga sebagai bangsa Indonesia. Sehubungan ini Aswi Adam menulis sbb: Dia (Presiden Sukarno) mengungkapkan bahwa Tugu Nasional (kini dikenal sebagai Monas, Monumen Nasional) dibangun bukanlah dengan bujet negara,melainkan dari sumbangan pengusaha, sumbangan dari ekspor kopra, dan sumbangan pada karcis bioskop. Kepada mahasiswa yang mengecam, “Tidak perlu monumen, yang perlu beras”, Soekarno membalas, “Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi. Makanan jiwa agar rakyat berkobar semangatnya. Manusia tidak hidup dari roti dan nasi thok.” Betapa Bung Karno menekankan arti penting dari semangat berbangsa, semangat kebangsaan yang berkobar.
Satu hal lagi yang tidak boleh dibiarkan, pada saat kita memikirkan kembali peristiwa-peristiwa sekitar Revolusi Kemerdekaan dan tegaknya Republik Indonesia, untuk menarik pelajaran sebaik-baiknya, ialah, fikiran yang melecehkan perjuangan bangsa sendiri. Ini termanifestasi dalam “analisis” yang menyimpulkan bahwa kemenangan bangsa kita dalam perjuangan melawan agresi militer 1 dan 2 pada tahun-tahun perjuangan kemerdekaan, b u k a n disebabkan oleh perjuangan bangsa kita sendiri.
 Pendapat atau “analisis” tsb mengklaim bahwa agresi 1 dan 2 Belanda itu bukan digagalkan oleh perjuangan bangsa kita, — kesediaan Belanda untuk menghentikan agresinya terhadap RI yang akhirnya mau “mengembalikan daerah Republik Indonesia”, bersedia melakukan perundingan KMB dan bersedia meninggalkan Indonesia, itu semua disebabkan oleh TEKANAN AMERIKA SERIKAT atas Belanda. Dengan demikian, menurut “analisis” tsb adalah berkat Amerika Serikat, maka kita berhasil mengalahkan kolonialisme Belanda. Suatu fikiran yang teramat keliru dan samasekali tidak didukung oleh fakta-fakta sejarah perjuangan kita sendiri.
Kemerdekaan yang telah kita capai serta mendapat pengakuan internasional, pertama-tama disebabkan oleh hasil perjuangan bangsa kita sendiri. Kenyataan ini tampaknya masih ada yang meragukannya. Bahkan menyanggahnya.
Mari buka kembali catatan dan dokumentasi sejarah bangsa kita, yang ada di dalam maupun diluar negeri. Dari situ akan jelas bahwa perjuangan kita, sebagai bangsa Indonesia, sebagai suatu nasion, sudah dimulai jauh ke belakang, yaitu paling tidak sejak permulaan abad keduapuluh. Menjadi lebih kongkrit sejak deklarasi Sumpah Pemuda 20 Mei 1928.
Sebelum dan sesudahnya bangsa kita sudah melakukan perjuangan dan menderita pengorbanan yang tidak kecil akibat penindasan oleh aparat kolonial Belanda. Ada yang suratkabarnya diberangus, ada yang parpolnya dilarang, banyak yang ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke Banda, Bengkulu dan Boven Digoel (Papua); ada pula yang dibuang ke luarnegeri. Sungguh tidak sedikit pengorbanan perjuangan nasional kita. Ketika atas nama bangsa Indonesia Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, segera kita dihadapkan pada kekuatan bersenjata Jepang, Inggris kemudian Belanda.
Siapa yang tidak ingat akan pertempuran-pertumparan gagah berani pasukan bersenjata Indonesia melawan tentara Jepang, Inggris dan Belanda di Ambarawa, Surabaya, Jakarta, Bandung, Krawang, Jogyakarta dan di banyak tempat lainnya. Melalui pertempuran-pertempuran tsb lahirlah Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang baerkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), kemudian akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Perjuangan bersenjata rakyat kita itu tidak akan berhasil bila tidak dipadukan dengan perjuangan di bidang diplomasi, yang pada periode baru berdirinya Republik Indonesia sudah mendapat pengakuan dari negeri-negeri Sosialis seperti Ukraina, Tjekoslowakia dan kemudian Uni Sovyet. Juga dukungan dan pengakuan dari negeri-negeri Arab yang berpenduduk mayoritas Islam seperti Mesir, Syria dll. Juga dukungan dan pengakuan India punya peranan penting memperkokoh kedudukan internasional Republik Indonesia.
Adalah perpaduan dua cara perjuangan yang dilakukan oleh RepublikIndonesia, yaitu perang rakyat semesta dengan TNI (dengan segala kekurangan-kekurangannya) sebagai kekuatan terbesar (juga dengan turursertanya kekuatan bersenjata yang masih ada di bawah pengaruh kekuatan politik Kiri, meskipun sudah menderita pukulan dalam Peristiwa Madiun) — yang dipadukan dengan perjuangan pandai dibidang diplomasi di dunia internasional, —- itulah yang memaksa Belanda mengakui kenyataan bahwa mereka tidak bisa bertahan terus di Indonesia, meskipun setelah agresi Belanda yang kedua, kebanyakan kota-kota besar Indonesia, kecuali di Aceh, diduduki oleh Belanda. Politik bumi hangus Indonesia juga memainkan peranan penting.
Maka adalah perjuangan kita sendiri, yang membikin AS yang terpancang dengan kesibukan “Perang Dingin”, terbuka matanya, menjadi ketakutan, jangan-jangan Indonesia nantinya jatuh di bawah pengarub blok Komunis, maka Amerika mengambil prakarsa menekan Belanda untuk berunding dengan Republik Indonesia dan kemudian meninggalkan Indonesia.
Jelas bukanlah berkat AS maka Belanda meninggalkan Indonesia dan kemerdekaan kita diakui oleh dunia internasional. Kemerdekaan Republik Indonesia, membelanya dan memperkokohnya, itu adalah berkat perjuangan kita sendiri, dengan dukungan dan soldaritas iternasional

DEMOKRASI PANCASILA

I. PENGERTIAN DEMOKRASI PANCASILA
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.

Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. (Sejarah dan Perkembangan Demokrasi, http://www.wikipedia.org)

Menurut Wikipedia Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).

2. Sistem Konstitusionil
Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian demokrasi Indonesia mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus seperti nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, tanah air dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan masyarakat, usaha dan krida manusia dalam mengolah lingkungan hidup. Pengertian lain dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila).

Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan dari – oleh untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktik, demos menyiratkan makna diskriminatif.

Demos bukan untuk rakyat keseluruhan, tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi wakil terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang memilihnya. (Idris Israil, 2005:51)

Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.
Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.
Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.
Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.

II. PRINSIP POKOK DEMOKRASI PANCASILA

Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:

1. Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.

2. Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku pengurusa rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku pelayana rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap tuannyaa, yakni rakyat.

Adapun prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Pemerintahan berdasarkan hukum: dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat),
b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas),
c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan MPR.

2. Perlindungan terhadap hak asasi manusia,

3. Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah,

4. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR, DPA atau lainnya,

5. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi Untuk menyalurkan aspirasi rakyat,

6. Pelaksanaan Pemilihan Umum;

7. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (pasal 1 ayat 2 UUD 1945),

8. Keseimbangan antara hak dan kewajiban,

9. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain,

10. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita Nasional.


III. CIRI-CIRI DEMOKRASI PANCASILA

Dalam bukunya, Pendidikan Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan, Idris Israil (2005:52-53) menyebutkan ciri-ciri demokrasi Indonesia sebagai berikut:

1. Kedaulatan ada di tangan rakyat.

2. Selalu berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong.

3. Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

4. Tidak kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi.

5. Diakui adanya keselarasan antara hak dan kewajiban.

6. Menghargai hak asasi manusia.

7. Ketidaksetujuan terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak.

8. Tidak menganut sistem monopartai.

9. Pemilu dilaksanakan secara luber.

10. Mengandung sistem mengambang.

11. Tidak kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas.

12. Mendahulukan kepentingan rakyat atau kepentingan umum.


IV. SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA

Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.

2. Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:
a. Menetapkan UUD;
b. Menetapkan GBHN; dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden

Wewenang MPR, yaitu:
a. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden;
b. Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN;
c. Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
e. Mengubah undang-undang.

4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.

5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislative ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.

Hak DPR di bidang pengawasan meliputi:
a. Hak tanya/bertanya kepada pemerintah;
b. Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah;
c. Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah;
d. Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal;
e. Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.

6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.

7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden.


V. FUNGSI DEMOKRASI PANCASILA

Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut:
1. Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya:
a. Ikut menyukseskan Pemilu;
b. Ikut menyukseskan Pembangunan;
c. Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.

2. Menjamin tetap tegaknya negara RI,

3. Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional,

4. Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila,

5. Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara,

6. Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
a. Presiden adalah Mandataris MPR,
b. Presiden bertanggung jawab kepada MPR.


VI. BEBERAPA PERUMUSAN MENGENAI DEMOKRASI PANCASILA

Dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, Prof. Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa perumusan mengenai Demokrasi Pancasila yang diusahakan dalam beberapa seminar, yakni:

1. Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966
a. Bidang Politik dan Konstitusional
1) Demokrasi Pancasila seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar1945,yang berarti menegakkan kembali azas negara-negara hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, dimana hak-hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan dimana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secara institusionil. Dalam rangka ini harus diupayakan supaya lembaga-lembaga negara dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan (depersonalization, institusionalization )

2) Sosialisme Indonesia yang berarti masyarakat adil dan makmur.

3) Clan revolusioner untuk menyelesaikan revolusi , yang cukup kuat untuk mendorong Indonesia ke arah kemajuan sosial dan ekonomi sesuai dengan tuntutan-tuntutan abad ke-20.
b. Bidang Ekonomi
Demokrasi ekonomi sesuai dengan azas-azas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam Undang-undang Dasar 1945 yang pada hakekatnya, berarti kehidupan yang layak bagi semua warga negara, yang antara lain mencakup :
1) Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara dan
2) Koperasi
3) Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya
4) Peranan pemerintah yang bersifat pembina, penunjuk jalan serta pelindung.

2. Musyawarah Nasional III Persahi : The Rule of Law, Desember 1966
Azas negara hukum Pancasila mengandung prinsip:
a. Pengakuan dan perlindungan hak azasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu kekuasaan/kekuatan lain apapun.
c. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

3. Symposium Hak-hak Azasi Manusia, Juni 1967
Demokrasi Pancasila, dalam arti demokrasi yang bentuk-bentuk penerapannya sesuai dengan kenyataan-kenyataan dan cita-cita yang terdapat dalam masyarakat kita, setelah sebagai akibat rezim Nasakom sangat menderita dan menjadi kabur, lebih memerlukan pembinaan daripada pembatasan sehingga menjadi suatu political culturea yang penuh vitalitas.

Berhubung dengan keharusan kita di tahun-tahun mendatang untuk mengembangkan a rapidly expanding economy, maka diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kebebasan berpolitik sebesar mungkin. Persoalan hak-hak azasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara 3 hal, yaitu:
a. Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
b. Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya.
c. Perlunya untuk membina suatu rapidly expanding economy.


DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Israil, Idris. 2005. Pendidikan Pembelajaran dan Penyebaran Kewarganegaraan. Malang : Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Sharma, P. 2004. Sistem Demokrasi Yang Hakiki. Jakarta : Yayasan Menara Ilmu.
http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_21/ppkn203_07.htm
http://www.wikipedia.org