Senin, 16 Mei 2011

PANCASILA ADALAH IDENTITAS DAN JIWA BANGSA DAN NEGARA

Menjelang hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945, kiranya adalah pada tempatnya mengenangkan kembali, memikirkan kembali, mengadakan penelitian kembali sekitar Republik Indonesia : lahir, tumbuh dan perkembangan serta pengkonsolidasiannya. Tidaklah terlalu pagi memulai penulisan seperti itu. Maksudnya tidak lain untuk menarik pelajaran dari pengalaman sendiri dan menatap ke depan dengan sikap dan semangat “berfikir positif” dan dengan pandangan optimisme.
Sesuai pemikiran tsb diatas, punya arti penting pernyataan baru-baru ini oleh salah seorang tokoh nasional, juga dianggap “sesepuh”, mantan Sekjen Konferensi Asia-Arika di Bandung (1955): Roeslan Abdoelgani. Berkenaan dengan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni yang lalu, beliau menyatakan, bahwa, Pancasila (adalah) sebagai ruh dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai saat ini masih sangat relevan dan dibutuhkan untuk membangun bangsa yang bermartabat dan punya harga diri di mata dunia. Sehubungan dengan ini Cak Rus (panggilan akrab Roeslan Abgdoelgani) mengutip kata-kata Bung Karno penggali Pancasila, sbb: “Bangsa ini akan mengalami kesulitan besar kalau ideologi Pancasila ditinggalkan”.
Pancasila (Alhamdulillah) sudah dipakukan di dalam UUD Negara, sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia. Syukur sampai sekarang bangsa ini masih berdiri tegak sebagai nasion, — tanpa sedikitpun menutup mata, tanpa meremehkan berbagai tantangan dan kesulitan maupun rintangan yang dihadapinya dari luar maupun dari dalam. Yang merupakan masalah serius ialah bagaimana Pancasila diinterpretasi, bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya bangsa.
ORBA, para sejarawan dan pakar yang mendukung ORBA, tidak tanggung-tanggung berusaha untuk mensalahtafsirkan, memutarbalikkan makna sesungguhnya Pancasila. Untuk itu mereka merekayasa dan memulas fakta-fakta sejarah sekitar lahirnya Pancasila. Mereka bahkan menyalahgunakan Pancasila untuk memberangus hak-hak demokrasi dan menginjak-injak HAM. Pancasila mereka gunakan untuk membenarkan penyerobotan kekuasaan negara dari tangan penggali Pancasila itu sendiri.
Jalan terbaik dalam memahami makna dan tujuan Pancasila, adalah memulainya dengan membaca dan mengkaji sendiri tulisan penggalinya, karya politik klasik: LAHIRNYA PANCASILA, pidato Bung Karno di muka Panitia Persiapan Kemerdekaan, 1 Juni 1945.
Yang tidak kurang serius, bahkan yang teramat serius, ialah bahwa Orba dengan sewenang-wenang menyalahgunakan Pancasila untuk memaksa bangsa ini BERFIKIR SERAGAM. Manusia Indonesia hanya dibolehkan berfikir menurut pola berfikir penguasa. Menjadikan bangsa ini bangsa yang paling dungu. Yang beranggapan kebenaran itu hanya ada pada penguasa, pada pemerintah, pada para elite, para “bapak-bapak” pemimpin.
Suatu hal yang tidak mungkin tercapai. Kalaupun berhasil itu hanya bisa berlaku untuk waktu tertentu saja. Dalam hal ini 32 tahun periode ORBA. Tidak mungkin berhasil dalam waktu panjang, karena fikiran tsb berasal dari ideologi fasisme. Gerakan Reformasi dan Demokratisasi telah berhasil mendobrak pola berfikir seperti itu, tetapi belum tuntas. Terutama kalangan generasi muda dalam jumlah besar telah meninggalkan pola berfikir seperti itu. Namun, disebabkan belum konsisten dan belum mendalamnya gerakan Reformasi dan Demokratisasi, sampai dewasa ini pola baerfikir semacam itu masih besarang pada para elite; pada kebanyakan pemimpin, baik dalam badan-badan eksekutif, legeslatif ataupun judikatif; baik dalam birokrasi maupun aparat kekuasaan negara.
Salah satu masalah yang masih terus didiskusikan dan diseminarkan, dipelajari kembali dan dianalisis atas dasar fakta-fakta, adalah masalah PELURUSAN SEJARAH. Membicarakan kembali dengan maksud memperdalam dan akhirnya mentuntaskan masalah PULURUSAN SEJARAH bangsa kita terutama selama periode kemerdekaan, adalah sesuai dengan maksud memperingati HARI KEMERDEKAAN. Maka, adalah menarik apa yang ditulis oleh sejarawan, Peneliti Utama LIPI, Dr. Asvi Warman Adam pada tanggal 2 Juni y.l. (Jawa Pos), dalam artikel berjudul SUKARNO MENGGUGAT SEJARAH.
Tulisan itu semacam resensi tentang buku “REVOLSUI BELUM SELESAI”, suatu ‘Kumpulan pidato Bung Karno’ sebanyak 61 buah sejak 1965 s/d 1967, yang berasal dari Arsip Nasional RI. Buku itu diterbitkan oleh Mesiass, Semarang. Jumlah keseluruhan pidato Bung Karno pada periode tsb adalah 103 buah. Oleh penerbit tidak diterbitkan semua, karena keterbatasan dana dan ruangan.
Aswi Adam menilai bahwa pidato-pidato Bung Karno itu memberi sumbangan signifikan untuk pelurusan sejarah awal Orde Baru. Sebagian terbesar rakyat Indonesia selama lebih 32 tahun Orba, tidak pernah mengetahui adanya pidato-pidato Presiden Sukarno yang begitu krusial dan teramat penting dalam sejarah Indonesia.
Pada saat-saat situasi politik Indonesia bergejolak sedemikian rupa drastis, dramatis dan tragisnya, bangsa dan negeri ini tidak mengetahui apa petunjuk, wejangan dan arah yang diberikan oleh kepala negara dan kepala pemerintahan Presiden RI Sukarno. Betapa tidak tragis dan dramatis misalnya nasib “Surat Perintah Sebelas Maret” (SUPERSEMAR) yang ditandatangani Presiden Sukarno, suatu surat perintah yang disampaikan oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintah dan Panglima Tertinggi ABRI, untuk mendukung dan membela instruksi, kewibawaan dan ajaran-ajaran Bung Karno.
Nyatanya dokumen penting ini telah disulap-salahgunakan oleh Jendral Suharto menjadi surat pengesahan perebutan kekuasaan negara. “Supersmar”, yang hitam diatas putih menyatakan bahwa ia dimaksudkan untuk membela kewibawaan Presiden Sukarno, demi ketertiban dan keamanan, justru digunakan untuk mensahkan dan melegitimasi pembunuhan lebih sejuta rakyat tidak bersalah, sebagai awal pelikwidasian dukungan dan pengaruh Bung Karno di kalangan rakyat.
Tidak berkelebihan untuk mengatakan, — kalau ada pengkhianatan dalam sejarah Republik Indonesia, maka, tindakan perebutan kekuasaan negara oleh Jendral Suharto dengan menyalahgunakan SUPERSEMAR adalah pengkhiantan yang paling besar dan paling keji, tiada ada taranya.
Membicarakan perjalanan hidup Republik Indonesia, lahir dan perjuangannya, tidak mungkin terlepas dari pembicaraan mengenai Bung Karno, salah seorang tokoh utama dari para “founding fathers of our nation”.
Perjuangan panjang bangsa ini untuk mencapai kemerdekaan dan menegakkan negara sendiri yang setara sejajar dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia ini, bertalian erat sekali dengan perjuangan untuk membangun nasion, membangun puluhan sukubangsa kita menjadi satu bangsa, satu nasion yang punya kesadaran identitas sebagai bangsa Indonesia, sebagai suatu nasion yang bukan saja punya identitas nasional, tetapi juga punya hargadiri sebagai nasion.
Disinilah sumbangan tak terhingga yang telah diberikan oleh Bung Karno terhadap usaha besar ini. Membangun nasion Indonesia adalah dasar yang paling kokoh, adalah persiapan yang paling fundamental menuju Indonesia Merdeka. Tidak sekali dua Bung Karno menekankan betapa pentingnya membangun kesadaran berbangsa, dan semangat bangga sebagai bangsa Indonesia. Sehubungan ini Aswi Adam menulis sbb: Dia (Presiden Sukarno) mengungkapkan bahwa Tugu Nasional (kini dikenal sebagai Monas, Monumen Nasional) dibangun bukanlah dengan bujet negara,melainkan dari sumbangan pengusaha, sumbangan dari ekspor kopra, dan sumbangan pada karcis bioskop. Kepada mahasiswa yang mengecam, “Tidak perlu monumen, yang perlu beras”, Soekarno membalas, “Monumen itu celana. Celana bagi bangsa yang sedang melakukan revolusi. Makanan jiwa agar rakyat berkobar semangatnya. Manusia tidak hidup dari roti dan nasi thok.” Betapa Bung Karno menekankan arti penting dari semangat berbangsa, semangat kebangsaan yang berkobar.
Satu hal lagi yang tidak boleh dibiarkan, pada saat kita memikirkan kembali peristiwa-peristiwa sekitar Revolusi Kemerdekaan dan tegaknya Republik Indonesia, untuk menarik pelajaran sebaik-baiknya, ialah, fikiran yang melecehkan perjuangan bangsa sendiri. Ini termanifestasi dalam “analisis” yang menyimpulkan bahwa kemenangan bangsa kita dalam perjuangan melawan agresi militer 1 dan 2 pada tahun-tahun perjuangan kemerdekaan, b u k a n disebabkan oleh perjuangan bangsa kita sendiri.
 Pendapat atau “analisis” tsb mengklaim bahwa agresi 1 dan 2 Belanda itu bukan digagalkan oleh perjuangan bangsa kita, — kesediaan Belanda untuk menghentikan agresinya terhadap RI yang akhirnya mau “mengembalikan daerah Republik Indonesia”, bersedia melakukan perundingan KMB dan bersedia meninggalkan Indonesia, itu semua disebabkan oleh TEKANAN AMERIKA SERIKAT atas Belanda. Dengan demikian, menurut “analisis” tsb adalah berkat Amerika Serikat, maka kita berhasil mengalahkan kolonialisme Belanda. Suatu fikiran yang teramat keliru dan samasekali tidak didukung oleh fakta-fakta sejarah perjuangan kita sendiri.
Kemerdekaan yang telah kita capai serta mendapat pengakuan internasional, pertama-tama disebabkan oleh hasil perjuangan bangsa kita sendiri. Kenyataan ini tampaknya masih ada yang meragukannya. Bahkan menyanggahnya.
Mari buka kembali catatan dan dokumentasi sejarah bangsa kita, yang ada di dalam maupun diluar negeri. Dari situ akan jelas bahwa perjuangan kita, sebagai bangsa Indonesia, sebagai suatu nasion, sudah dimulai jauh ke belakang, yaitu paling tidak sejak permulaan abad keduapuluh. Menjadi lebih kongkrit sejak deklarasi Sumpah Pemuda 20 Mei 1928.
Sebelum dan sesudahnya bangsa kita sudah melakukan perjuangan dan menderita pengorbanan yang tidak kecil akibat penindasan oleh aparat kolonial Belanda. Ada yang suratkabarnya diberangus, ada yang parpolnya dilarang, banyak yang ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke Banda, Bengkulu dan Boven Digoel (Papua); ada pula yang dibuang ke luarnegeri. Sungguh tidak sedikit pengorbanan perjuangan nasional kita. Ketika atas nama bangsa Indonesia Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, segera kita dihadapkan pada kekuatan bersenjata Jepang, Inggris kemudian Belanda.
Siapa yang tidak ingat akan pertempuran-pertumparan gagah berani pasukan bersenjata Indonesia melawan tentara Jepang, Inggris dan Belanda di Ambarawa, Surabaya, Jakarta, Bandung, Krawang, Jogyakarta dan di banyak tempat lainnya. Melalui pertempuran-pertempuran tsb lahirlah Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang baerkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI), kemudian akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Perjuangan bersenjata rakyat kita itu tidak akan berhasil bila tidak dipadukan dengan perjuangan di bidang diplomasi, yang pada periode baru berdirinya Republik Indonesia sudah mendapat pengakuan dari negeri-negeri Sosialis seperti Ukraina, Tjekoslowakia dan kemudian Uni Sovyet. Juga dukungan dan pengakuan dari negeri-negeri Arab yang berpenduduk mayoritas Islam seperti Mesir, Syria dll. Juga dukungan dan pengakuan India punya peranan penting memperkokoh kedudukan internasional Republik Indonesia.
Adalah perpaduan dua cara perjuangan yang dilakukan oleh RepublikIndonesia, yaitu perang rakyat semesta dengan TNI (dengan segala kekurangan-kekurangannya) sebagai kekuatan terbesar (juga dengan turursertanya kekuatan bersenjata yang masih ada di bawah pengaruh kekuatan politik Kiri, meskipun sudah menderita pukulan dalam Peristiwa Madiun) — yang dipadukan dengan perjuangan pandai dibidang diplomasi di dunia internasional, —- itulah yang memaksa Belanda mengakui kenyataan bahwa mereka tidak bisa bertahan terus di Indonesia, meskipun setelah agresi Belanda yang kedua, kebanyakan kota-kota besar Indonesia, kecuali di Aceh, diduduki oleh Belanda. Politik bumi hangus Indonesia juga memainkan peranan penting.
Maka adalah perjuangan kita sendiri, yang membikin AS yang terpancang dengan kesibukan “Perang Dingin”, terbuka matanya, menjadi ketakutan, jangan-jangan Indonesia nantinya jatuh di bawah pengarub blok Komunis, maka Amerika mengambil prakarsa menekan Belanda untuk berunding dengan Republik Indonesia dan kemudian meninggalkan Indonesia.
Jelas bukanlah berkat AS maka Belanda meninggalkan Indonesia dan kemerdekaan kita diakui oleh dunia internasional. Kemerdekaan Republik Indonesia, membelanya dan memperkokohnya, itu adalah berkat perjuangan kita sendiri, dengan dukungan dan soldaritas iternasional

0 komentar: